Labuhanhaji, dan se-masa kecil Prof. Dr. Ismail Suny, S.H., M.C.L.

SI BUYUNG. Begitulah beliau menukilkan judul bab 1 dari bukunya. “Buyung” adalah panggilan untuk anak laki-laki dalam bahasa Aneuk Jamee. Pada bab tersebut, ia menceritakan perkisahan hidup semasa kecil, garis keturunan, hingga awal mengecap pendidikan di Tapak Tuan.

Labuhanhaji, adalah tanah kelahiran beliau pada 7 Agustus 1929. Penamaan Labuhanhaji, bukanlah suatu hal yang tidak mempunyai arti sejarah. jauh sebelum Belanda menjajah Aceh, nama tersebut sudah tersematkan. Konon, menurut orang-orang tua disana, dari pelabuhan di bagian selatan Aceh inilah perahu-perahu layar Aceh berangkat membawa jemaah haji ke Jeddah untuk menunaikan rukun Islam kelima, oleh sebab itu daerah tersebut dinamakan Labuhanhaji.

Menurut sejarah, perkawinan antar budaya Aceh dan  Aneuk Jamee di Labuhanhaji terjadi setelah perampasan daerah-daerah kekuasaan Kesultanan Aceh di bagian pantai Barat Sumatera. Di bawah pemerintahan Aceh Sultan Alau’ddin Ri’ayat Syah Al-kahar (1537-1571). Pariaman di Sumatera bagian barat sudah masuk wilayah Aceh. Puteranya, Raja Mugal ditetapkannya sebagai Wakil Sultan disana. Apalagi pemerintahan Aceh dibawah Sultas Iskandar Muda Meukuta Alam (1607-1636), menempatkan pembesar-pembesar yang beribawa dan ahli di daerah-daerah di sebelah barat seperti Barus, Pasaman, Tiku, Pariaman, Salido, dan Indrapura. Bahkan pada masa Iskandar Muda seluruh pantai Barat Sumatera hingga Bengkulu telah berada di dalam kuasa Aceh. Pada pemerintahan Iskandar Sani (1636-1641) keadaan tersebut tidak berubah banyak. Baru-lah pada masa pemerintahan Ratu Tajul Alam Safiatuddin Syah (1641-1676), wilayah-wilayah Aceh di Sumatera Barat dapat dirampas oleh Belanda, meskipun dipertahankan oleh Panglima-panglima Aceh dan rakyat di sana selama bertahun-tahun. Dengan demikian tambang mas Salido dan monopoli di Sumatera Barat jatuh pula ke dalam tangan Belanda.

Panglima-panglima Aceh yang mundur dari Sumatera Barat ini ada yang telah kawin dengan wanita-wanita setempat, dengan demikian membawa keluarganya ke daerah Aceh. Ada di antara rombongan Panglima-panglima ini yang langsung kembali ke pusat Kerajaan Aceh, tetapi ada pula yang membuka neger-negeri baru, di luar daerah Asalnya. Dan oleh karena itu timbulah di daerah Aceh bagian Selatan negeri-negeri baru, yang berbahasa sehari-hari dua bahasa: Bahasa Aceh dan Bahasa Aneuk Jamee (Anak Tamu), seperti negeri Tapak Tuan, Samadua, Labuhanhaji dan Susoh.

Di negeri-negeri ini baik bahasa, maupun adat istiadat dekat sekali dengan bahasa dan adat istiadat yang berlaku di Sumatera Barat. Bahkan sampai 1913, di negeri-negeri tersebut masih berlaku hukum matrilinea, sama halnya dengan Minangkabau.

Prof. Ismail Suny adalah anak sulung dari Mohammad Suny, seorang pengusaha di Labuhanhaji. Mohammad Suny adalah anak dari seorang pengusaha sekaligus Panglima Perang. Nama lengkap kakek beliau adalah Haji Panglima Minsa. Sedangkan Ibunya adalah Haji Cut Nyak Sawani binti Teuku Panglima Leman. Teuku Panglima Leman adalah anak dari Teuku Kecik Salihin yang pernah menjadi Uleebalang/raja di Swapraja Labuhanhaji.

Ayah beliau hanya mendapat pendidikan di Sekolah Rakyat dan meneruskan pendidikan Agama di “Surau Thawalib” di Pasar Lama Labuhanhaji tahun 1924. Menurut Prof. Ismail Ya’kub: “Daerah yang mula-mula berhembus angin baru dalam pendidikan di Aceh, ialah Daerah Aceh Selatan, dengan datangnya ‘Perguruan Thawalib’ dari Sumatera Barat, dibawah pimpinan H. Jalaluddin Thaib, yang dikenal kemudian sebagau Ketua Umum Partai Politik “Permi” (Persatuan Muslimin Indonesia), yang dibuang kemudian ke Digul oleh penjajah Belanda. Udara dalam bidang pendidikan sudah lama berhembus di Sumatera Barat dengan Diniyah dan Thawalibnya. Diantara pemimpinnya yang terkenal ialah: Zainuddin Labai Al-Yunusi yang berpusat di Padang Panjang. Hal ini dapat terjadi karena dekatnya hubungan antara Aceh Selatan dengan Sumatera Barat, dibandingkan dengan bagian lain dari Daerah Aceh.

PERMULAAN PENDIDIKAN DI TAPAK TUAN

Setelah pindah selama setahun ke Blangpidie, pada tahun 1935 Ayah beliau mendapat tugas untuk mengelola cabang perusahaan keluarga di Tapak Tuan. Di kota tersebutlah beliau untuk pertama kali mengenyam pendidikan pada tahun 1936. Pada hari pertama beliau sekolah tanpa sepengetahuan Ayah dan Ibunya. Hari pertama kesekolah beliau diantar oleh bibinya dengan mengenakan baju monyet.

Setelah menduduki 2 tahun Volksschool (Sekolah Rakyat), oleh Ayah beliau memutuskan untuk pindah ke Hollandsche-Inlandsche School (HIS), yang dikenal oleh penduduk kota setempat dengan sebutan “Sekolah Belanda”, sekolah tersebut menggunakan pengantar bahasa melayu pada tahun-tahun pertama dan bahasa Belanda di tahun-tahun yang lebih tinggi. Beliau mendapat banyak hambatan untuk memasuki sekolah itu, dikarenakan sekolah tersebut hanya diperuntukkan bagi mereka-mereka yang mendapatkan Previlege tertentu dari Belanda. Kedudukan Ayah beliau yang saat itu menjadi langganan terbesar dari Aehsche Handel Maatscappij dan salah seorang dari sedikit sekali orang pribumi yang mempunyai mobil sedan di seluruh lingkungan Kota Tapaktuan pada waktu itu, dimungkinkan beliau menaiki strata sosial yang diadakan oleh kolonialis Belanda saat itu.

Setelah masuk Hollandsche-Inlandsche School (HIS) pada tahun 1938, beliau juga dimasukkan ke Meunasah (Madrasah) Khairiyah untuk mengikuti pelajaran Agama di sore harinya. Madrasah Khairiyah yang terletak di samping Mesjid Jami’ Tapaktuan itu, adalah suatu sekolah modern yang sudah menggunakan bangku dan papan tulis. Selain pelajaran Agama Islam juga pelajaran Ilmu Bumi dan lain-lain.

Cita-cita Ayah beliau ingin “si buyung’nya kelak menjadi dokter, keinginan tersebut sudah semenjak beliau duduk di HIS. Hal itu sering kali beliau dengar dari percakapan Ayahnya dengan langganan-langganannya dan guru-guru beliau saat itu. Beliau tidak pernah tahu maksud dari ayahnya yang ingin sekali beliau menjadi seorang dokter. Dengan pikiran positif beliau bergumam: “Barangkali pekerjaan dokter lebih tenang dibandingkan pekerjaan seorang sarjana hukum, di mana kemungkinan anti Belanda lebih besar dari dokter. Ini barangkali yang ada di dalam pikiran ayah, yang menginginkan sesuatu yang lebih baik bagi putranya”.

SEKOLAH DAGANG DAN TANI DI BUKIT TINGGI

Kalau saja kekuasaan Belanda pada bulan maret 1942 tidak berakhir, barangkali keinginan Ayah beliau untuk menjadikan beliau seorang dokter mungkin akan teruwujudkan.

Tanpa menamatkan HIS, karena sewaktu Jepang datang mereka menyatukan sekolah-sekolah yang bahasa pengantarnya bahasa Belanda, seperti: HIS, CHS diubah bentuk dan sistemnya, sehingga bersama-sama Volksschool dan Bervolksschoolh menjadi Sekolah Rakyat enam tahun. Beliau pada tahun 1942 dalam usia 13 tahun meminta kepada ayahnya agar diberi kesempatan untuk melanjutkan sekolah ke Bukit Tinggi di Sumatera Barat. Ayah beliau tidak hanya menyetujui, akan tetapi mengambil keputusan untuk seluruh keluarga pidah ke Bukit Tinggi.

Setelah beliau beserta seluruh keluarga berangkat dari kampungnya halamannya Labuhanhaji, setiba di luar kota Meulaboh. Tiba-tiba saja ibu beliau yang baru beberapa bulan melahirkan anak keempat, Rosmani mendadak sakit. Keadaan tersebut mengharuskan seluruh keluarga kembali ke Meulaboh dan dirawat selama dua bulan disana, setelahnya semua keluarga kembali ke Labuhanhaji.  Hanya beliau saja yang meneruskan perjalanan ke Bukit Tinggi.

Setiba beliau di kota dingin itu, mula-mula beliau masuk di sekolah Industri yang antara lain mata pelajarannya keramika, membuat obat-obatan, tijpen dan sebagainya. Sesudah beberapa bulan baru memasuki sekolah Dagang dan Tani, yang diantara guru-gurunya adalah bekas mahasiswa Recht Hoge School (RHS) di Batavia, yang kemudian jadi orang pergerakan Dr. Iskandar Tejakusuma, Sartono dan lain-lain. Disamping pelajaran bahasa Jepang yang beliau ikuti sewaktu sore hari pada guru dan juga kostbaas saya Bapak Syafei Siregar, itulah kegiatan beliau di kota “Jam Gadang ” selama satu tahun.

Dengan kepindahan pamanya Teuku Nyak Gempa dengan keluarganya ke Bukit Tinggi, beliau-pun ikut tinggal bersama pamannya di Jalan Kayu Kubu, tidak begitu jauh dari pemandangan panorama ngarai sianok yang indah itu. Liburan puasan menyebabkan saya meninggalkan Sumatera Barat, dan itu menjadi perpisahan yang bertahun-tahun dengan daerah Minangkabau, karena beliau tidak melanjutkannya lagi.

MADRASAH DINIYAH MUHAMMADIYAH LABUHANHAJI

Setelah liburan puasa, sepulang dari Bukit Tinggi, ternyata beliau melanjutkan pelajran Agama Islam pada Meunasah (Madrasah) Diniyah Muhammadiyah yang baru itu didirikan di Labuhanhaji.

Muhammadiyah Labuhanhaji didirikan tahun 1932 oleh Fakih Aminalam. Ia banyak berjasa sebagai pendiri, tetapi oleh Belanda ia diusir dari Labuhanhaji ke Lamie, Aceh Barat sebagai orang buangan. Setelah Muhammadiyah berdiri, seterusnya dikembangkan dibawah Pimpinan: Tengku Nanta Ali, Tengku Usman Labai, Tengku Ramaya, Tengku Mustafa, Tengku A. Kadir Ma’ruf, Tengku H. Jusuf, Drs Tengku A. Ghafur Acheir dan lain-lain.

Gerak langkah Muhammadiyah saat itu sangat dihambat oleh pemerintah Belanda, seperti diturunkannya papan nama Muhammadiyah, bahkan ditutupnya kantor, dakwah dan pengajian dilarang. Pimpinan Muhammadiyah banyak disuruh kerja paksa untuk pembuatan jalan.

Tengku Ramaya dengan sembunyi-sembunyi melalui Gayo Alas berangkat ke Kotaraja (Banda Aceh) untuk menemui tengku Hasan Geulumpang Payong, konsul Muhammadiyah Daerah Aceh meminta petunjuk agar Muhammadiyah Labuhanhaji dapat berjalan dengan baik serta meminta surat pengukuhan kepada Controleur di Tapaktuan. Baru sekembali Tengku Ramaya daru Kotaraja, amalan Muhammadiyah Labuhanhaji dapat berjalan lancar.

Pada tahun 1943 Muhammadiyah Labuhanhaji, sebagai cabang pertama di Aceh selatan, membangun gedung sekolah baru dan diberi nama Madrasah Diniyah Muhammadiyah, (tujuh tahun) dibawah pimpinan ustaz Amir Ali.

Pada tahun-tahun itu Labuhanhaji merupakan pusat kegiatan pendidikan Islam di seluruh Aceh, selain Muhammadiyah. Perkumpulan Tarbiyah Islamiyah (Perti) banyak juga menerima pelajar-pelajar hampir dari seluruh Aceh untuk menuntut ilmu pada Tengku Syech Haji Muda waly Al-Khalidy di Blangporoh Labuhanhaji. Salah seorang pelajar kemudian yang terkenal adalah Syech Marhaban, yang berasal dari Krueng Kale, Aceh Besar,  yang kemudian pernah menjadi Menteri Muda Pertanian RI dalam kabinet Ali Roem Idham. Sebagi wakil dari PSII.

Oleh karena beliau pernah belajar Agama di Madrasah Khairiyah Tapaktuan sebelumnya, saya diterima langsung di kelas dua pada tahun 1943 saat itu. Dan oleh karena pelajarannya dilakukan pada waktu sore, oleh ayah beliau diberikan modal untuk berkongsi dalam perusahaan dagang dengan abang Namin, yang menjadi suami dari salah seorang sepupu beliau. perusahaan dagang tersebut diberi nama “Namisma” akronim dari (Namin dan Ismail). Itulah firma dimana beliau dapat mempraktekkan jiwa dagang dari keluarga dan apa yang telah beliau pelajari tentang prinsip-prisipnya di Sekolah Dagang dan Tani di Bukit Tinggi.


Selama beliau mengenyam pendidikan di Madrasah Diniyah Muhammadiyah Labuhanhaji, kemajuan pelajaran beliau begitu baiknya. Sehingga pernah ia dinaikan kelas setingkat dibandingkan teman sekelas yang lain. Dengan demikian beliau dapat menyelesaikan pendidikan yang sebenarnya adalah tujuh tahun, hanya dalam masa lima tahun saja. Pada tahun ajaran 1947/1948 beliau mendapat ijazah sebagai nomor satu pada saat itu.    

Komentar