Masa Kecil Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc.

Sabtu 6 februari Prof. Yusril Ihza Mahendra merayakan hari ulang tahunnya ke-60, di Hotel Bidakara, Jakarta. diikuti dengan launcihing buku beliau dengan judul "ensiklopedia pemikiran Yusril Ihza Mahendra". sampai dengan hari ini, buku tersebut belum beredar di pasar buku nasional. kemarin (17 februari), setelah saya mendatangi pameran buku yang diadakan Gramedia di Hermes mall Kota Banda Aceh, menanyakan ketersediaan buku tersebut belum ada. maka, di malam harinya saya ambil inisiatif  untuk menanyakan langsung kepada Prof Yusril melalui media akun twitternya, sama saja jawaban Prof. Yusril, bahwa buku tersebut belum beredar di toko-toko buku.

Tetapi, saya mendapatkan sedikit bocoran tentang isi dari buku-buku tersebut. didalam buku ensiklopedia pemikiran yusril ihza mahendra yang terdiri atas empat jilid itu, beliau juga menuliskan kisah hidup semasa kecil beliau, ia menceritakan bagaimana kehidupannya dahulu yang pelik dan serba kekurangan. banyak kisah menarik, serta inspiratif semasa kecil beliau di belitung.

Prof. Yusril adalah anak dari Idris Haji Zainal Abidin, yang merupakan pegawai negeri sipil yang menjabat sebagai kepala KUA Manggar, Belitung. pada pertengahan tahun 1960-an. walaupun status ayah beliau seorang pegawai negeri sipil merangkap kepala KUA, namun tidak setiap bulan ayah beliau menerima gaji dan jatah beras dari pemerintah.

Terkadang gaji baru dibayar setelah tiga s/d empat bulan kemudian, dengan cara membayar rapel sekaligus. jatah beras tersebut kadang dapat, terkadang mesti di rapel juga. begitulah Prof Yusril menulisnya.

Melalui buku tersebut, Prof Yusril kembali bernostalgia dengan masa lalunya. beliau mengenang kembali bagaimana kehidupan keluarga beliau yang begitu sederhana, dengan kondisi ekonomi yang pas-pasan. ditambah lagi beliau mempunyai sembilan orang saudara, bukanlah tanggungjawab yang ringan bagi ayah beliau untuk memberi makan dan mencukupi kebutuhan keluarga mereka. 

Agar beras jatah cukup untuk dimakan seluruh anggota keluarga, Ibu beliau (Nursiha Sadon), terpaksa harus mencampur beras tersebut dengan singkong yang dipotong kecil-kecil, terkadang dengan jagung, atau kacang hijau. pernah juga dicampur dengan bulgur.

Seingat belaiu, beras jatah pegawai negeri sipil itu kualitasnya lebih rendah dari dibandingkan dengan jatah buat pegawai rendahan di perusahaan timah di manggar, apalagi dengan jatah pegawai staf, sungguh jauh sekali. beras jatah ayah beliau seringkali bau apek, banyak batu, dan bercamput kutu. Tak jarang ketika dicuci beras mengapung di permukaan air. itu pertanda sudah terlalu lama disimpan di  gudang beras pemerintah.

Sewaktu-waktu stok beras habis, Prof. Yusril sering diperintah Ibunya untuk meminta beras kepada sang nenek. sedangkan untuk lauk pauk, keluarga beliau menanam singkong karet, keladi, oyong dan ketule, serta cabai.

Disebabkan ayah beliau yang kadang menerima gaji, terkadang juga tidak. maka, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yang tidak mungkin melulu dapat dari alam, terpaksa keluarga beliau harus berhutang di warung sekitar rumah. beliau masih ingat betul siapa pemilik warung yang sering diutangi keluarganya. diantaranya adalah Jamaudin, Arif, dan Jelami. di waktu itu, Prof. Yusril masih berumur 5-6 tahun, walau begitu, beliau juga menyimpan perasaan malu karena disuruh berhutang di warung. Padahal pemilik warung selalu tampak ramah dan mencatat barang-barang yang dibeli di buku hutang.

Untuk membeli keperluan sekolah Prof. Yusril beserta saudaranya. Ayah beliau seringkali menjual ayam kepada pedagang ayam yang sering berkeliling di kawasan tersebut. Hasil penjualan Ayam tersebut dibelikan sepatu putih atau sepatu karet merek bata, baju seragam, pensil, serta tas sekolah. walaupun keluarga beliau banyak ayam yang dipelihara, sungguh tak sekalipun keluarga beliau memotong ayam untuk dimakan. ayam baru dipotong setahun sekali untuk menyambut Hari Raya Idul Fitri atau ketika ada kenduri perkawinan.

Sebab, makan ayam bagi masyarakat belitung saat itu ialah sebuah kemewahan yang luar biasa. mereka hanya mendengar daging ayam adalah makanan pegawai staf perusahaan timah kala itu.

nasehat kakek dan nenek Prof. Yusril dari garis keturunan ibu masih beliau ingat sampai dengan hari ini. nasehat kakek kepada beliau agar tidak takut pada kemiskinan dan mendorong beliau agar pergi merantau setelah tamat SMA. kakek beliau berpesan "kamu tidak pernah menjadi orang besar jika kamu tinggal di belitung selamanya," begitu halnya sang nenek "kalau tidak berani menyeberangi lautan, takkan pernah mendapat tanah tepi".

Ketika Prof. Yusril kuliah di Fakultas Humum Universitas Indonesia, Jakarta. dan mudik kekampung halamannya di belitung. beliau ditanyai oleh kakek, setelah tahu Prof Yusri akan menajdi sarjana Hukum.  sang kakek berpesan agar tidak menjadi polisi, jaksa, atau sipir. kakek beliau mengatakan itu tidak bagus, karena selau berteman dengan penjahat. begitulah ucap sang kakek kepada beliau. ketika sang kakek bertanya apakah Prof. Yusril berniat akan menjadi Hakim, beliau menjawab tidak, karena hakim itu teman penjahat juga. begitulah gurauan Profesor belitung ini yang mengundang tawa sang kakek, sembari membenarkan jawabannya.
    

Komentar